Thursday 15 January 2015

Mt. Lawu, Central Java, March 2013

Sunrise Gunung Lawu, hasil jepretan Gyrass
Awal Mula Misteri - Gunung Lawu merupakan sebuah Gunung Api atau Stratovolcano Tipe B terletak di perbatasan antara Provisi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara geografis, Gunung Lawu termasuk dalam wilayah Kabupaten Karanganyar dan sebagian termasuk dalam Kabupaten Magetan. Gunung Lawu bisa dikatakan sebagai gunung api tidur, karena terakhir kali meletus pada tahun 1885, hampir 130 tahun yang lalu. Gunung Lawu dengan ketinggian sekitar 3.225 mdpl (Hargo Dumilah) memiliki tiga kawah, antara lain dua kawah di sebelah utara yang biasa disebut Telaga Kuning dan Telaga Lembung Selayur; dan di sebelah selatan sebuah kawah bernama Kawah Candradimuko.

Gyrass berfoto di pinggir jurang
Tuan A dan Tuan B
Gunung Lawu merupakan salah satu tempat sakral dan pusat kegiatan spiritual di tanah Jawa (Jawadwipa). Konon, dahulu kala, Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Pamungkas sedang gundah gulana ketika Raden Fatah (anak laki-laki Sang Prabu dengan Dara Petak) memeluk agama Islam dan mulai mendirikan kerajaan baru di Glagah Wangi (Demak). Dengan penuh kekhawatiran, Sang Prabu melakukan meditasi dan didapatinya sebuah wangsit bahwa kecermelangan Majapahit seiring waktu akan semakin memudar dan wahyu kedaton akan berpindah dari Majapahit ke Kerajaan Demak.

Speechless
Setelah mendapat wangsit tersebut, Sang Prabu bersama Sabdopalon bergegas meninggalkan Majapahit dan diam-diam menuju Gunung Lawu. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Dipa Menggala dan Wangsa Menggala yang selanjutnya juga ikut menemani langkah Sang Prabu ke Gunung Lawu. Singkat cerita, sebelum Sang Prabu Bhrawijaya dan Sabdopalon moksa (sebuah konsep agama Hindu dan Budha. Artinya ialah kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi atau Punarbawa kehidupan) di Hargo Dumiling, beliau mengangkat Dipa Menggala sebagai penguasa gunung yang membawahi seluruh mahluk gaib di sekitar wilayah tersebut dan Wangsa Menggala sebagai patihnya dengan gelar Kyai Jalak. Dipa Menggala dan Kyai Jalak karena kesempurnaan ilmunya berubah menjadi mahluk gaib dan hingga saat ini masih setia menjalankan amanat Sang Prabu.

Setiap tanggal 1 suro, banyak orang yang berkunjung ke sini untuk  melakukan ritual Ngurah, Ngalap Berkah atau sekedar berziarah. Ada beberapa tempat yang dianggap keramat oleh para peziarah, antara lain Goa Sikolong-kolong, Komplek Hargo Dalem, petilasan Bung Karno dan Sendang Derajat. Selain itu banyak cerita misteri di gunung ini, yang paling terkenal cerita tentang Pasar Setan dimana banyak pendaki yang hilang dan tak pernah kembali.

***

Maret 2013 - Kami tiba di pos Cemoro Sewu siang hari menjelang sore, saya datang bersama dua teman semasa SMA, Gyrass Ksatria dan Ikhsanul Irfan. Kabut semakin sore semakin tebal hanya menyisakan jarak pandang yang sangat terbatas. Rombongan pendakian bersama dari Jakarta belum datang juga, sudah 6 jam kami menunggu. Cuaca sudah mulai membaik, hanya saja semakin malam udara semakin dingin, akhirnya kami putuskan untuk tidur sejenak di basecamp.
"Kepagian, Bro!!!"
Bareng rombongan Harry Potter (paling kiri) yang jalannya ngebut banget

Pukul 00.00 WIB, rombongan dari Jakarta tiba. Rombongan itu didominasi wanita berjilbab dan mengenakan rok panjang. Setelah briefing singkat, kami memulai pendakian. Awalnya kami berjalan paling belakang, lama-lama kami sudah merangsek di depan. Sudah saya duga, outfit rok panjang yang mereka kenakan itu sangat mengganggu gerak langkah mereka sendiri. Saya heran kenapa mereka masih mempersulit diri karena prinsip, toh saya juga punya teman perempuan berhijab yang masih toleran menggunakan celana panjang sewaktu pendakiannya ke Gunung Gede. Pendakian yang harusnya hanya memakan waktu 4 s.d 6 jam akan semakin molor nampaknya.

Akhirnya kami putuskan berjalan lebih dulu meninggalkan rombongan, toh mereka sudah ada panitianya sendiri. Kami dikawal dua orang, ah entah saya lupa namanya, anggap saja Tuan A dan Tuan B. Dengan penampilan mereka yang selayaknya warga lokal, kami kira mereka merupakan salah satu anggota panitia, ternyata mereka hanya menumpang bus rombongan dari terminal terdekat menuju ke Cemoro Sewu. Saya hanya tertawa-tawa saja dalam hati.

Berdo'a ketika matahari terbit
Pukul 06.00 kami tiba di warung mbok yum, saya masih heran ada warung di gunung. Ini pertama kalinya saya lihat yang seperti ini. Tuan A dan Tuan B memutuskan singgah di warung karena lapar. Saya sendiri juga lapar sekali saat itu, tapi Gyrass dan Ikhsan memaksa untuk ke puncak dulu baru sarapan. Setelah mencapai puncak, cuaca berkabut, terlalu siang, kami tidak mendapatkan view yang diinginkan. Kami turun dan beristirahat di warung kembarannya, warung mbok yem. Pukul 13.00 WIB panitia pendakian bersama mengabarkan rombongannya baru tiba dan memutuskan menambah satu hari lagi baru kemudian pulang. Kesempatan ekstra berburu sunrise tentu tak akan kami lewatkan.

***

Hujan - Esok paginya kami berburu sunrise, setelah hari sebelumnya kami tiba terlalu siang, kali ini terlalu pagi. Jam tangan baru menunjuk pulul 04.05 WIB, tapi pemandangan dari Hargo Dumilah malah terlihat sangat bagus. Solo dan Karanganyar terlihat seperti bintang bertaburan, dan jalan utama kota terlihat layaknya sungai bercahaya. Kami masih menunggu sunrise, udara masih saja dingin. Kami merapat di tugu Hargo Dumilah untuk mengusir dingin, sedikit-sedikit langit mulai menunjukan siluet garis violet-jingga di horizon sebelah timur. Matahari semakin tinggi, pendaki semakin ramai. Kami putuskan turun setelah merasakan cukup.
Hargo Dumilah

Ketua Rombongan memberitakan akan turun setelah makan siang melalui jalur Cemoro Kandang. Sampai sekarang saya masih mempertanyakan kenapa. Dia tahu rombongannya sudah lelah tetapi tetap memilih jalur Cemoro Kandang yang lebih panjang dan belum ada jalan berbatu untuk menapak. Setelah makan siang kami mulai turun, awal-awalnya saya, Gyrass, Ikhsan, Tuan A dan Tuan B masih sedia menunggu, lama-kelamaan mereka berjalan semakin lambat sedang cuaca semakin buruk. Kami putuskan lagi untuk meninggalkan rombongan itu, dan benar saja hujan turun dengan sangat derasnya. Kami tetap berjalan tanpa henti, tanpa memakai mantel hujan (sebenarnya kami bawa, hanya saja malas mengeluarkannya, sudah terlanjur basah). 

Trek semakin licin, kami sempat terpeleset beberapa kali, bahkan tuan B nyaris terjatuh ke jurang. Setelah beberapa jam menuruni gunung, kami tiba di Pos Cemoro Kandang pukul 16.00 WIB, masih cukup waktu untuk mandi, berganti pakaian, Sholat Ashar lalu makan di warung pinggir jalan. Saya masih membayangkan bagaimana sulitnya rombongan melalui jalur tersebut. Kami saja yang menggunakan sepatu trekking masih terpeleset, apalagi mereka yang hanya memakai sandal gunung atau sepatu kets.

Benar saja, rombongan baru tiba pukul 00.30 dini hari, rencana mereka pulang Minggu sore ke Jakarta gugur, mereka baru berangkat ke Jakarta hari Senin paginya. Ah, saya kapok ikut pendakian bersama lagi.
Rumah Botol
adios amigos







No comments:

Post a Comment