Wednesday 7 January 2015

Mt. Kerinci, West Sumatera, November 2014

Sunrise Atap Sumatera

Bebas - September 2014, setelah lima minggu dibina dan ditempa oleh pelatih-pelatih Kopassus, akhirnya kami kembali ke kehidupan normal, bebas. Tidak ada lagi suara letusan senapan, Sungai Gangga, Kolam Sukun, Jaga Serambi, Longmarch, Ritual Panggang dan Angkut Velbed. Kami (BC25) berhasil menyelesaikan Diklat Teknis Umum Kesamaptaan Gelombang III 2014 dengan cukup baik. Mengirim beberapa perwakilan di 15 besar, bahkan posisi 3 besar diraih seluruhnya oleh rekan-rekan kami, Ikhsanul Irfan, Wildan Solihin, dan Berlian Yoga Ardhana. Dan hal ini harus dirayakan, Atap Sumatera kami rasa sangat setimpal sebagai perayaan sebuah kebebasan yang berhasil diperoleh kembali dengan keringat dan air mata.


***
Pose dulu sebelum berangkat

Si Atap Sumatera - Gunung Kerinci (kadang juga disebut Kerintji, Kurinci, Kerinchi atau Korinci) merupakan gunung stratovulkano (tipe A) yang masih aktif. Memiliki puncak dengan nama Puncak Indera Pura di ketinggian sekitar 3805 meter di atas permukaan laut (mdpl). Gunung Kerinci berada sekitar 190 Km arah selatan kota Padang (sekitar 5 s.d. 6 jam perjalanan darat dari Kota Padang). Letusan Gunung Kerinci bertipe hawaii karena lava yang keluar dari kawah sangat cair dan dapat mengalir ke segala arah. Gunung Kerinci terakhir kali meletus pada tahun 2009 lalu. 

Gunung Kerinci merupakan salah satu bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). TNKS merupakan wilayah konservasi alam dengan luas kira-kira 1,4 juta hektar yang terletak di empat provinsi yang sebagian besar wilayahnya berada di Jambi. Hutan TNKS memiliki sekitar 4000 jenis tumbuhan yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae. Tumbuhan yang bersifat endemik antara lain : pinus kerinci, kayu pacat, bunga rafflesia, dan bunga bangkai. Sedangkan untuk fauna, TNKS memiliki 37 jenis mamalia, 10 jenis reptilia, 6 jenis amphibi, 8 jenis primata, dan 139 jenis burung.

Selain Gunung Kerinci, TNKS juga memiliki beberapa objek wisata lain, misalnya Danau Gunung Tujuh, Goa Napal, Goa Licin, Goa Kasah, Grao Solar, Grao Kunyit, Grao Nguak (Grao = wisata air panas), Letter W dan Rawa Ladeh Panjang. Untuk info lengkapnya bisa lihat di sini

***
http://www.kaskus.co.id/thread/52073cee59cb17d57100000b/kayu-aro-kebun-teh-tertua-di-indonesia-dan-terluas-di-dunia

Kebun Teh Terluas di Dunia - 13 November 2014, kami tiba di Kresik Tuo. Sebuah desa kecil yang di dominasi perkebunan teh yang sangat luas bernama Kayu Aro. Luas perkebunan teh Kayu Aro di lereng Gunung Kerinci mencapai 3.020 hektar dan merupakan perkebunan teh terluas dalam satu hamparan di dunia. Selain itu, dengan ketinggian 1.400 hingga 1600 mdpl menjadikan Kebun Teh Kayu Aro sebagai kebun teh ke-2 tertinggi di Dunia setelah Darjeling (di Lereng Pegunungan Himalaya, 4.000 mdpl).

Tugu Macan, Kresik Tuo

Kebun Teh Kayu Aro juga nerupakan Perkebunan Teh Tertua di Indonesia, peninggalan jaman kolonial Belanda di bawah kendali Namlodee Venotchaat Handle Verininging Amsterdam, 1932 dan berproduksi hingga saat ini (sekarang di bawah kendali PT. Perkebunan Nusantara VI). Teh Kayu Aro sebenarnya merupakan teh terbaik yang dihasilkan Indonesia, namun tidak banyak orang yang mengenal teh tersebut. Teh Kayu Aro merupakan teh ortodox atau teh hitam yang pada awalnya berasal dari Teh Assam, India. Teh ini terkenal karena rasa dan aromanya yang sangat khas sehingga pada zaman kolonial Belanda dijadikan minuman untuk Ratu Inggris dan Ratu Belanda.

Rata-rata setiap tahun, perkebunan teh Kayu Aro menghasilkan sekitar 5.500 Ton Teh Hitam. Berdasarkan data yang saya peroleh, sebagian besar diekspor ke Eropa, Russia, Timur Tengah, Amerika Serikat, Asia Tengah, Pakistan, dan Asia Tenggara.

***

Menembus Belantara - 14 November 2014, 09.00 WIB. Setelah proses perencanaan yang matang selama dua bulan lebih, akhirnya hari yang kami tunggu tiba. Gelak tawa menyelimuti pagi kami, sambil menikmati sarapan pagi dengan pemandangan Gunung Kerinci di depan basecamp kami selama di Kayu Aro. Pagi itu Kerinci terlihat gagah diselimuti kabut tipis yang semakin menebal seiring meningginya matahari.

Sumber air Pondok Panorama
Pengecekan terakhir kesiapan alat dan ketersediaan logistik telah kami lakukan, tak lupa memanjatkan do'a, perjalanan kami mulai. Dengan menumpang mobil pick up kami menuju pos Pintu Rimba. Kami memang sengaja lebih memilih mobil bak terbuka daripada mobil minibus, agar lebih leluasa menikmati pemandangan dan bebas menghirup udara pagi hari yang segar. Sepanjang perjalanan menuju Pintu Rimba, kami disuguhkan hamparan perkebunan teh yang luas di sisi kiri dan kanan jalan. Tidak lupa kami berhenti sejenak di Tugu Macan sekedar untuk berfoto bersama.

Jalanan beraspal telah habis, kami melanjutkan perjalanan menuju Pintu Rimba dengan berjalan kaki. Sekitar 15 menit melewati perkebunan kentang milik warga, kami tiba di Pintu Rimba. Di hadapan kami sudah terbentang belantara hutan yang seolah menggoda kami untuk segera menjelajah. Trek kali ini bisa dibilang yang paling berat dari semua gunung yang pernah kami tempuh. Trek yang akan kami tempuh hingga shelter 1 nanti memang berupa belantara hutan tropis lebat yang hampir tidak tertembus cahaya matahari. 

Perjalanan dari Pintu Rimba hingga pos 2 atau biasa disebut Batu Lumut (2.020 mdpl) terkenal sebagai jalur perlintasan Harimau, jalur ini masih relatif mudah, belum ada tanjakan yang berarti. Hanya saja, trek yang diguyur hujan pada malam sebelumnya memberi tantangan tersendiri buat kami. Jalur ini kami tempuh dengan waktu kurang lebih 45 menit.

Setelah beristirahat sejenak, kami lanjutkan perjalanan ke Pos 3. 45 menit kami habiskan untuk menuju pos 3 atau Pondok Panorama terletak di ketinggian 2.225 mdpl. Di pos ini kami mengisi persediaan air dan beristirahat sejenak. Di Pondok Panorama kami melihat kumpulan tupai yang mencari makan di sekitar kami. Seolah tidak terusik dengan kehadiran kami, tupai-tupai tersebut berlalu-lalang mencari makanan, sambil sesekali bersembunyi di semak-semak. Kelestarian hutan tropis di sini memang sangat terjaga, mungkin karena masih sedikit manusia yang berkunjung ke sini. Saat naik tadi saja kami hanya berpapasan dengan 5 orang pendaki dari Palembang yang hendak turun. Sedangkan untuk yang mendaki hari ini hanya grup kami yang beranggotakan 8 orang termasuk Bang Andi sebagai guide kami.

Si Tupai tertangkap kamera

Cobaan baru dimulai saat melanjutkan perjalanan menuju Shelter 1, sudut elevasi yang ekstrim dan kondisi tanah yang licin sisa hujam semalam membuat kami terengah-engah melewatinya. 1 jam 30 menit, akhirnya kami tiba di tanah yang cukup lapang, luasnya cukup untuk membuat 5-6 tenda. Shelter 1 (2.504 mdpl) menjadi tempat pertama kami bermalam sebelum melanjutkan perjalanan kembali esok paginya. Dari sini Desa Kresik Tuo terlihat sangat kecil ditemani matahari yang mulai terbenam di ufuk barat.

***

Everest - "Ndra, mau kemana?"
               "Everest!!!" 

Pagi ini kami mulai dengan gelak tawa yang sama seolah lupa beratnya medan yang akan kami lalui hari ini. Rupanya Hendra masih kesal diledek pasangan turis dari Jerman yang baru saja selesai melakukan penelitian tentang serangga sore kemarin. Wajar saja sih, dari kami berdelapan hanya Hendra yang memakai setelan Jaket lengkap dengan kupluk dan gloves, padahal si Bule hanya menggunakan kemeja dan celana pendek. Mungkin yang paling membuat Hendra kesal karena yang mengejeknya adalah si Bule perempuan (setelah itu kami yang tak henti-henti meledeknya, haha).

Pendaki Everest (kiri) dan Bang Oni beristirahat di Shelter 2

Cuaca hari ini cukup cerah, semalam pun tidak hujan. Setelah sarapan pagi dan berkemas, kami melanjutkan perjalanan menuju Shelter 2 untuk kemudian berkemah kembali di Shelter 3 sebelum summit attack. Perjalanan dari Shelter 1 menuju Shelter 2 bisa dibilang berat. Trek yang paling panjang dan menanjak cukup menguras energi. Pepohonan semakin pendek seiring kami mendekati Shelter 2. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam, kami tiba di Shelter 2 yang terletak di ketinggian 3.100 mdpl. Bisa ditebak betapa curamnya tanjakan yang kami tempuh, menaiki sekitar 600 meter dalam waktu 3 jam. Kami beristirahat sejenak sambil meracik minuman rasa jeruk sebagai penambah tenaga.

Masih sempet SMS pacar
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Kalau kamu berpikir trek menuju Shelter 2 melelahkan, kamu harus merasakan perjalanan dari Shelter 2 menuju Shelter 3. Trek sebelumnya sudah berhasil membuat paha kami menyentuh perut, kali ini lebih ekstrim, Mungkin kurang tepat kalau kami bilang ini jalur manusia, lebih tepatnya trek ini adalah lintasan air yang dilalui manusia, sudut elevasi tanjakan yang harus didaki atau ah lebih tepatnya dipanjat berhasil membuat kami menunduk mencium lutut. Mungkin kamu pikir ini ringan, ah biasa itu. Tapi kenyataannya tidak, posisi akrobatik tersebut kami lakukan sepanjang perjalanan menuju Shelter 3 selama 2 jam sambil menggendong carrier yang rata-rata beratnya lebih dari 5 Kg. Setibanya di Shelter 3, kami segera mendirikan tenda, lalu mengisi persediaan air. Karena tak kuasa menahan lelah, akhirnya kami terkapar di dalam tenda. Cuaca saat itu juga mulai memburuk, kabut, disertai hujan, lalu ditambah angin yang berhembus kencang membuat dingin semakin menusuk hingga ke tulang. Setelah makan malam kami putuskan segera tidur untuk mengisi tenaga sebelum summit attack dini hari nanti.

***

Menggapaimu, Sayang - Minggu dini hari, seperti biasa, sebelum melakukan pendakian hingga puncak Indera Pura, kami awali dengan membaca do'a bersama. Summit Attack kali ini dibagi menjadi 2 fase, fase pertama menuju Tugu Yudha, lalu dilanjutkan fase terakhir hingga Puncak Indera Pura. Medan yang kami lalui hingga puncak nanti berupa bebatuan yang ukurannya cukup besar, sedikit berpasir dan terjal. Hampir mirip dengan summit attack Semeru, hanya saja di sini jalurnya lebih lebar dan tidak terlihat jelas.

I wanna scream, "I'm Free and No One can stop me!!!"
Sudah 1 jam 20 menit kami berjalan, dengan memakai setelan jaket, lengkap dengan ponco, kupluk dan gloves ternyata tidak cukup mempan untuk menahan terjangan dingin yang merangsek masuk melalu pori-pori kulit. Sembari merapatkan jaket, saya melanjutkan langkah saya yang sempat terhenti karena nafas yang tersengal tadi. Di depan Oni, Ikhsan, dan Bang Andi sudah semakin jauh, sedangkan di belakang Hendra, Gerry, Didi, dan Angga terlihat sedang mengambil nafas. Rupanya jalur kemarin cukup menguras tenaga kami.

Keadaan yang gelap semakin menguji ketahanan mental kami, seolah-olah tanjakan terjal ini tak ada habisnya, ditambah kadar oksigen yang semakin tipis di ketinggian ini membuat konsentrasi sedikit buyar. Beberapa kali saya sempat salah berpijak dan terpeleset jatuh. Saya kumpulkan semangat yang tersisa, sudah beberapa jam mendaki entah kenapa Tugu Yudha belum terlihat juga. Saya berhasil menyusul Bang Andi.

"Dikit lagi, itu puncaknya sudah kelihatan," kata Bang Andi sambil menunjuk ke atas. Rupanya tanpa sadar saya sudah melewati Tugu Yudha di bawah. Di atas sana, Atap Sumatera sudah terlihat, saya biarkan kaki saya melangkah lebih cepat. Pukul 05.10 WIB, 16 November 2014, saya dan 7 orang rekan berhasil menggapaimu, Sayang.

Au Revoir

No comments:

Post a Comment