Wednesday 24 December 2014

Mt. Semeru, East Java, May 2013

livelystar.wordpress.com

Konon, menurut legenda. Jawadwipa (Pulau Jawa) terapung di tengah samudera luas. Terombang-ambing laksana kapal yang diamuk gelombang. Kemudian Sang Batara Guru, alias Dewa Syiwa memerintahkan para dewa untuk memaku Jawadwipa agar tertancap dan tidak terhempas samudra. Sang Batara Guru menitahkan Dewa Wisnu dan Dewa Brahma untuk memindahkan Mahameru dari tanah Bharatawarsa (India) guna memaku Jawadwipa.


Maka dipindahkanlah Mahameru, digendong oleh Dewa Wisnu yang menjelma menjadi kura-kura raksasa, kemudian dililit oleh naga besar (sebagian cerita yang lain menyebut ular besar) jelmaan Dewa Brahma. Konon, Mahameru yang terlalu besar itu tercecer saat dibawa. Sebagian tercecer di bagian barat Jawadwipa, sebagian lagi tercecer di bagian timur (Gunung-gunung tersebut antara lain : Gunung Katong sekarang Gunung Lawu, 3.265 mdpl, Gunung Wilis 2.169 mdpl, Gunung Kampud alias Gunung Kelud 1.713 mdpl, Gunung Kawi 2.631 mdpl, Gunung Arjuna 3.339 mdpl, dan Gunung Kemukus 3.156 mdpl). Namun yang paling mulia adalah Sang Semeru, "Meru yang Sempurna", Puncak dari Mahameru, Paku Bumi Jawadwipa yang kini menjadi gunung berapi paling tinggi di Pulau Jawa.

***



Saturday Sunshine - Kalian pasti ingat gambar diatas, konsep pemandangan yang sudah otomatis terpatri dalam benak kreativitas hampir setiap anak kecil di negeri ini. Lukisan gunung lancip ditambah jalan lurus, sawah dan matahari tersenyum di tengah-tengah. Saya rasa itu semua terinspirasi dari foto di bawah.

Sunrise dari Ranukumbolo
Ranukumbolo, sebuah danau yang terletak pada ketinggian 2400 mdpl, sebuah surga kecil, secuil keindaahan tiada tara Mahameru. Menurut arti bahasa, "Ranu" berarti danau, sedangkan "Kumbolo" sendiri berarti tempat berkumpul. Penamaan ini rasanya tepat, mengingat Ranukumbolo merupakan tempat berkemah untuk melepas lelah setelah mendaki Mahameru atau sekedar datang berkunjung dan menikmati indahnya kilauan permukaan air danau saat matahari terbit.

Selepas puas berfoto di Ranukumbolo, hari ini kami berencana melanjutkan perjalanan hingga Kalimati. Fase pertama yang akan kami lewati adalah tanjakan cinta. Kalian pasti sudah nonton film "5cm", di tanjakan ini kalau kalian berhasil menanjak tanpa henti dan tanpa menengok ke belakang sekalipun hingga sampai puncaknya, konon orang yang kamu sukai saat itu akan menjadi milikmu. Makanya tanjakan ini terkenal dengan nama tanjakan cinta.

Dari kejauhan di atas puncak tanjakan cinta, Ranukumbolo tetap terlihat mendamaikan. Di sisi seberang selepas tanjakan cinta, kamu akan melihat keindahan Oro-oro ombo. Padang luas berwarna ungu (di film 5cm Oro-oro Ombo sedang kering), dikelilingi bukit hijau seolah kami sedang berada di negara lain. Perlu kamu tahu, tumbuhan ungu di Oro-oro Ombo itu bukan lavender, melainkan Verbena brasiliensi. Wajar saja tidak ada wangi khas lavender seperti ekspektasi awal saya.

Sampai di Cemoro Kandang (sekitar 2500 mdpl) gerimis mulai turun diselimuti kabut tipis yang membuat perjalanan menjadi sedikit lebih berat dan dingin. Hujan justru semakin deras saat kami tiba di pos Jambangan, menggunakan raincoat kami tetap melanjutkan perjalanan hingga Kalimati sesuai dengan rencana. Mendekati Kalimati, hujan mulai mereda. Kami segera membuat tenda sesampainya di Kalimati dan beristirahat untuk Summit Attack dini hari nanti.


Berfoto di Ranukumbolo dan Tanjakan Cinta
Oro-oro Ombo

 ***

Tiga Minus Dua - Minggu dini hari, kami mulai melakukan persiapan untuk Summit Attack, melakukan pengecekan kesiapan terakhir dan berdoa agar diberi kemudahan selama proses pendakian. Pos selanjutnya yang kami tuju adalah pos Arcopodo, kata orang lokal kita tidak boleh bicara kotor dan berperilaku tidak baik. Kalau melanggar, sering kali pendaki akan berputar-putar di tempat penuh misteri ini seperti yang dialami rekan saya Gerry tahun lalu. Gerry dan rombongannya berputar-putar di daerah yang sama beberapa jam hingga akhirnya terselamatkan oleh porter yang tidak sengaja melintas. Arcopodo sendiri berupa hutan dan memang terlihat angker, gelap, sepi, dan terdapat beberapa makam disana.

Batas akhir Arcopodo adalah Cemoro Tunggal, dinamakan seperti itu karena terdapat satu pohon sejenis pinus/cemara yang menjadi batas akhir hutan. Selepas Cemoro Tunggal, sudah terpampang lintasan berpasir kerikil dan bongkahan batu-batu sisa letusan (mungkin). Lintasan semakin berat dengan sudut elevasi yang cukup extreme ditambah permukaan yang berbatu dan berpasir menjadi ujian terakhir para Pendaki Mahameru. Memang untuk mencapai sesuatu yang menurut legenda merupakan tempat yang paling mulia di Jawadwipa harus ditempuh dengan susah payah.

Tiga minus dua, rumus standar pendakian di tengah tanjakan terjal berpasir. Bersusah payah melangkah tiga kali lalu pasir kerikil membuat melorot dua langkah. Perlu diingat, jangan pernah kamu mencoba berpijak di bongkahan batu. Memang kadang jadi lebih mudah untuk berpijak, namun jika batu itu jatuh menggelinding ke bawah, justru membahayakan rekan-rekanmu yang berada di belakang. Sudah banyak kejadian seperti itu yang memakan korban luka maupun tewas, tahun ini saja kami mendapat kabar ada pendaki tewas tertimpa batu saat summit attack di sini (Oktober 2014 lalu). Di tengah perjalanan, turun debu vulkanik, terlihat seperti hujan salju memang, rupanya Kawah Jonggring Saloko sedang memuntahkan abu vulkanik. Biasanya letusan wedus gembel terjadi antara 15 s.d 20 menit sekali.

Setelah berjam-jam merangkak (dalam arti sebenarnya) di trek berpasir, akhirnya kami tiba di Mahameru sekitar pukul 05.10 WIB. Berbeda dengan puncak Rinjani yang sempit, Mahameru seperti tanah lapang yang luas. Jonggring Saloko kembali batuk, dan inilah kami di puncak tertinggi Pulau Jawa, Paku Bumi Mahameru.


C'est La Vie

*Pendakian Mahameru 3676 mdpl, 17 s.d. 20 Mei 2013

No comments:

Post a Comment